Bicara soal Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal, lo harus paham dulu bahwa ini bukan satu sistem, tapi dua model yang bertolak belakang. Rusia menjalankan sistem federal dengan 85 subjek federal (termasuk wilayah Krimea yang kontroversial), sementara China teguh dengan sistem kesatuan yang memusatkan semua kekuasaan di Beijing.
Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang desentralisasi vs sentralisasi lagi hangat-hangatnya. Desember 2024 lalu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat bahwa pelaksanaan otonomi daerah semakin jauh dari hakikat awal pembentukannya, dengan banyak kewenangan yang ditarik kembali ke pusat. Makanya, memahami model Rusia dan China jadi penting buat evaluasi sistem kita.
Yang Bakal Lo Pelajari:
- Struktur Federal Rusia: 85 Subjek dengan Otonomi Berbeda
- Kekuasaan Presiden Rusia yang Dominan
- Sistem Kesatuan China: Kontrol Terpusat Beijing
- Struktur Administratif China 2025
- Desentralisasi Indonesia 2024–2025
- Kelebihan & Kekurangan: Analisis Komparatif
- Data Ekonomi & Fiskal: Rusia, China, Indonesia
- Implikasi untuk Pembangunan Nasional
- Pelajaran untuk Reformasi Indonesia
Struktur Federal Rusia: 85 Subjek dengan Otonomi Berbeda

Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal dimulai dari memahami bahwa Rusia mengoperasikan sistem federal yang kompleks. Menurut Konstitusi Rusia, ada 85 subjek federal yang terdiri dari 22 republik, 9 krai (territory), 46 oblast (provinsi), 3 kota federal (Moskow, Sankt Petersburg, Sevastopol), 1 oblast otonom (Oblast Otonom Yahudi), dan 4 okrug otonom.
Yang menarik, sistem federal Rusia bukan sistem yang seragam. Republik-republik memiliki hak untuk menetapkan bahasa resmi sendiri, punya konstitusi sendiri, dan bahkan lagu kebangsaan sendiri—hak yang tidak dimiliki oleh subjek federal lainnya. Ini yang disebut “federalisme asimetris”.
Contoh Konkret:
- Republik Tatarstan punya bahasa resmi Tatar selain Rusia, punya konstitusi sendiri, dan secara historis punya perjanjian bilateral dengan Moscow
- Oblast Moskow (jangan dikira sama dengan Kota Moskow) hanya wilayah administratif biasa tanpa status khusus
- Chechnya punya status republik dengan otonomi tertentu setelah konflik berdarah di tahun 1990an-2000an
Tapi jangan salah—otonomi ini berkurang drastis sejak era Putin. Pada 24 Juli 2017, perjanjian power-sharing Tatarstan dengan Moscow berakhir, menjadikannya republik terakhir yang kehilangan status spesialnya. Beberapa komentator bahkan bilang, “Russia ceased to be a federation” setelah itu.
Peta: 85 Subjek Federal Rusia dengan tipe berbeda-beda
Kekuasaan Presiden Rusia yang Dominan

Sistem Rusia secara konstitusional adalah semi-presidential, tapi praktiknya? Kekuasaan terkonsentrasi di tangan Presiden Vladimir Putin, dengan pengadilan yang tunduk, media yang dikontrol, dan legislatif yang terdiri dari partai penguasa dan oposisi yang jinak. Freedom House bahkan menyebut Rusia sebagai sistem otoriter, bukan demokrasi federal yang sebenarnya.
Sejak 2000, Putin menciptakan 8 distrik federal dengan perwakilan presiden yang bertugas mengawasi subjek-subjek federal dan memastikan kebijakan Moscow dijalankan. Ini praktis mengurangi otonomi yang dijamin konstitusi.
Baca lebih lanjut tentang sistem federal modern
Sistem Kesatuan China: Kontrol Terpusat dari Beijing

Nah, kalau Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal bicara soal China, ini cerita yang berbeda total. China bukan negara federal—sama sekali tidak. China punya sistem administratif tiga tingkat menurut konstitusinya: provinsi, county, dan township. Tapi dalam praktik, ada lima tingkat pemerintahan.
Struktur Administratif China Tahun 2025
China memiliki 34 divisi tingkat provinsi: 23 provinsi, 5 daerah otonom, 4 kotamadya langsung (Beijing, Shanghai, Tianjin, Chongqing), dan 2 wilayah administratif khusus (Hong Kong dan Makau). Semua nominasi pemimpin provinsi? Ditunjuk langsung oleh Beijing—nol pemilihan demokratis.
5 Daerah Otonom Etnis:
- Mongolia Dalam – Populasi Mongolia
- Guangxi – Populasi Zhuang
- Tibet – Populasi Tibet (area paling sensitif)
- Ningxia – Populasi Hui (Muslim)
- Xinjiang – Populasi Uyghur (juga sangat sensitif)
Tapi jangan tertipu dengan label “otonom”. Menurut sistem self-government untuk area otonomi etnis, organ pemerintahan di area ini menjalankan hak self-government, tapi ini semuanya dibawah kepemimpinan nasional yang terpusat. Praktiknya? Sekretaris Partai Komunis di semua daerah otonom ini ditunjuk dari Beijing dan biasanya orang Han (etnis mayoritas China), bukan dari etnis lokal.
Perbedaan Fundamental dengan Rusia:
Sementara subjek federal Rusia punya konstitusi sendiri (meski berkurang pengaruhnya), provinsi China tidak punya dokumen konstitutif sama sekali. Semua provinsi teoritis subordinat terhadap pemerintah pusat PRC, meskipun dalam praktik, pejabat provinsi punya discretion (kebijaksanaan) yang cukup besar atas kebijakan ekonomi. Beberapa ekonom menyebutnya “federalism with Chinese characteristics”—tapi ini bukan federalisme konstitusional seperti Rusia.
Fakta Menarik: Hong Kong dan Makau jalan dengan sistem “One Country, Two Systems”—mereka punya sistem hukum sendiri (common law untuk Hong Kong, civil law untuk Makau) dan mata uang sendiri, tapi kebijakan luar negeri dan pertahanan 100% dikontrol Beijing. Status ini dijamin sampai 2047 untuk Hong Kong dan 2049 untuk Makau.
Desentralisasi Indonesia 2024–2025: Posisi di Tengah Spektrum

Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal jadi benchmark penting untuk mengevaluasi Indonesia. Posisi kita? Di tengah-tengah—bukan federal seperti Rusia, bukan sentralistik seperti China.
Kerangka Hukum Indonesia:
Indonesia menganut sistem desentralisasi sebagai prinsip dan menerapkannya melalui otonomi daerah. Melalui UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Indonesia secara eksplisit mengadopsi model desentralisasi asimetris—pemberian otonomi yang berbeda antar daerah berdasarkan potensi, karakteristik, dan kebutuhan masing-masing.
Indonesia punya 38 provinsi (termasuk yang terbaru) dengan 514 kabupaten/kota. Kepala daerah? Dipilih langsung oleh rakyat sejak 2005—ini adalah desentralisasi politik yang nyata, berbeda total dengan Rusia (yang gubernurnya kebanyakan diangkat) dan China (semua ditunjuk).
Status Khusus:
- DKI Jakarta – Ibu kota dengan status khusus
- Daerah Istimewa Yogyakarta – Sultan otomatis jadi gubernur
- Aceh – Otonomi khusus pasca-konflik, termasuk penerapan syariat Islam
- Papua & Papua Barat – Otonomi khusus untuk pembangunan dan pemberdayaan penduduk asli
- IKN Nusantara – Wilayah otorita ibu kota negara baru
Tantangan Terkini (Desember 2024):
Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N. Suparman, menjelaskan bahwa prinsip otonomi daerah kini sudah mulai keluar dari koridor yang dicita-citakan sejak awal. Lima tahun terakhir pada 2019-2024, banyak kebijakan yang justru menjadi sentralistik, dimana banyak urusan daerah yang harus ditarik ke pemerintah pusat.
Ini paradoks: Indonesia yang notabene negara kesatuan malah lebih terdesentralisasi secara politik dibanding Rusia yang federal!
Kelebihan dan Kekurangan: Analisis Komparatif
Mari kita bandingkan secara objektif Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal dengan melihat pro-kontra masing-masing sistem:
Sistem Federal Rusia
Kelebihan:
- Diversity regional diakui secara konstitusional – Republik-republik bisa preserve budaya dan bahasa lokal
- Fleksibilitas kebijakan lokal – Setiap subjek federal bisa adapt kebijakan sesuai kondisi lokal
- Check and balance teoritis – Ada mekanisme konstitusional untuk menyelesaikan sengketa pusat-daerah
Kekurangan:
- Legislation yang disahkan 2021 meningkatkan sentralisasi politik dengan mengorbankan otonomi regional
- Ketimpangan ekonomi besar – Moskow dan Sankt Petersburg jauh lebih kaya dibanding republik-republik di pinggiran
- Korupsi regional – Otonomi yang besar kadang disalahgunakan oleh elite lokal
Sistem Kesatuan China
Kelebihan:
- Koordinasi nasional efisien – Kebijakan bisa dieksekusi cepat tanpa negosiasi panjang dengan provinsi
- Pertumbuhan ekonomi terkoordinasi – Program pembangunan nasional bisa dilaksanakan seragam
- Stabilitas politik tinggi – Tidak ada risiko separatisme karena tidak ada basis konstitusional untuk otonomi sejati
Kekurangan:
- Zero demokrasi lokal – Rakyat tidak bisa memilih pemimpin lokal mereka
- Represi minoritas – Daerah otonom seperti Tibet dan Xinjiang mengalami kontrol ketat dan dugaan pelanggaran HAM
- Kurang responsive ke kebutuhan lokal – Kebijakan top-down kadang tidak sesuai realitas di daerah
Indonesia: Hybrid Model
Kelebihan:
- Demokrasi lokal – Pilkada langsung sejak 2005 memberikan legitimasi kuat ke kepala daerah
- Otonomi daerah telah menumbuhkembangkan iklim kebebasan berkumpul, berserikat serta mengemukakan pikiran secara terbuka bagi seluruh masyarakat
- Fleksibilitas fiskal – Daerah bisa kelola Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kekurangan:
- Hampir seluruh pemerintah daerah masih bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat, sehingga kebijakan pemotongan anggaran transfer (TKD) memiliki efek domino yang luas
- Kapasitas daerah tidak merata – Daerah maju seperti Jawa Barat bisa maksimalkan otonomi, daerah tertinggal struggle
- Tumpang tindih regulasi – Masih sering terjadi konflik antara peraturan pusat dan daerah
Data Ekonomi dan Fiskal: Angka Bicara
Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal paling jelas perbedaannya kalau kita lihat data fiskal.
Alokasi Anggaran Rusia (2025-2027)
Anggaran federal Rusia untuk 2025 dan tahun perencanaan 2026-2027 menggarisbawahi prioritas pemerintahan Putin: perang di Ukraina, investasi di basis industri pertahanan untuk merekonstitusi militer Rusia, dan belanja sosial targeted untuk memperbaiki demografi Rusia.
Alokasi ke subjek federal? Berkurang karena fokus ke belanja militer. Ini menunjukkan saat krisis, sistem federal pun bisa jadi sentralistis.
Transfer Fiskal Indonesia (2025)
Alokasi Transfer ke Daerah dalam APBN 2025 mencapai Rp 919,87 triliun, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp192,28 triliun yang meliputi DBH Pajak Rp77,30 triliun dan DBH Sumber Daya Alam Rp85,92 triliun.
Tapi ada masalah: pemotongan anggaran transfer menciptakan resentralisasi terselubung, dimana pemerintah pusat secara sistematis mengurangi kapasitas daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi otonom mereka tanpa mengubah kerangka hukum formal tentang otonomi daerah.
Ketergantungan Fiskal – Perbandingan:
- Rusia: Subjek federal seperti Tatarstan bisa generate 65% pendapatan sendiri (sebelum tekanan dari Moscow meningkat)
- China: Provinsi sangat tergantung ke Beijing—Tibet misalnya, 87% anggarannya dari pusat
- Indonesia: Kebanyakan daerah masih tergantung 60-80% ke transfer pusat (DAU, DAK, DBH)
Grafik: Ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat di tiga negara
Implikasi untuk Pembangunan Nasional
Data menunjukkan: desentralisasi fiskal tanpa kapasitas lokal = disaster. China dengan sentralisasi ketat bisa maintain pertumbuhan ekonomi stabil. Rusia dengan otonomi besar tapi pengawasan lemah hadapi korupsi regional. Indonesia? Stuck di tengah—punya otonomi tapi kapasitas tidak merata.
Baca Juga Negara Federasi Membongkar Mitologi & Fakta Sejarah
Pelajaran untuk Reformasi Tata Negara Indonesia
Setelah memahami Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal, apa yang bisa Indonesia ambil?
Lesson 1: Jaminan Konstitusional Itu Penting
Rusia menjamin otonomi subjek federal dalam konstitusinya—meski praktiknya tererosi, setidaknya ada basis hukum kuat untuk daerah fight back. Indonesia? Pasal 18 UUD NRI 1945 hasil amandemen menyebut bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah, tapi detailnya bergantung pada UU yang bisa direvisi kapan saja oleh DPR.
Rekomendasi: Perkuat jaminan konstitusional minimal untuk otonomi daerah, mirip Pasal 11 Konstitusi Rusia yang menetapkan pembagian kewenangan berdasarkan konstitusi dan perjanjian federal.
Lesson 2: Akuntabilitas Digital adalah Kunci
China sukses koordinasi nasional karena sistem monitoring ketat (meski otoriter). Indonesia bisa adopt versi demokratisnya: sistem digital yang transparan. Pemerintah sudah mulai dengan SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara) yang connect semua transaksi APBD real-time.
Lesson 3: Pertahankan Pilkada Langsung
Sejak 2020, hanya 25% gubernur Rusia dipilih langsung; sisanya dilantik oleh presiden dari calon yang diusulkan parlemen lokal. Hasilnya? Legitimasi pemimpin lokal drop, akuntabilitas berkurang.
Indonesia harus mempertahankan Pilkada langsung—ini adalah keunggulan kompetitif kita dibanding sistem otoriter Rusia dan China.
Lesson 4: Capacity Building Daerah
Salah satu tantangan utama desentralisasi adalah ketimpangan antara daerah yang lebih maju dan yang tertinggal. Daerah yang memiliki sumber daya dan kapasitas lebih besar cenderung dapat memanfaatkan kebijakan ini lebih baik.
Solusi bukan menarik kewenangan ke pusat (seperti yang terjadi 2019-2024), tapi intensive support untuk daerah tertinggal: pelatihan SDM, bantuan teknis, dan sharing best practices.
Tidak Ada Sistem Sempurna
Federasi Rusia Cina Desentralisasi Konstitusional Non Federal mengajarkan bahwa setiap sistem punya trade-off. Rusia dengan federalisme konstitusional masih berakhir dengan resentralisasi de facto di bawah Putin. China dengan kontrol ketat bisa maintain pertumbuhan tapi sacrificing kebebasan lokal.
7 Takeaway Utama Berbasis Fakta:
- Rusia memiliki 85 subjek federal sejak aneksasi Krimea 2014, terdiri dari 22 republik, 9 krai, 46 oblast, 3 kota federal, 1 oblast otonom, dan 4 okrug otonom
- China memiliki 34 divisi tingkat provinsi: 23 provinsi, 5 daerah otonom, 4 kotamadya, dan 2 wilayah administratif khusus
- Pada 2017, perjanjian power-sharing Tatarstan berakhir, menjadikannya republik terakhir yang kehilangan status spesial di Rusia
- Indonesia menganut desentralisasi asimetris melalui UU No. 23 Tahun 2014, dengan otonomi berbeda-beda antar daerah
- KPPOD mencatat otonomi daerah Indonesia 2024 semakin jauh dari hakikat awal, dengan banyak kewenangan ditarik ke pusat
- Transfer ke Daerah APBN 2025 sebesar Rp 919,87 triliun, dengan DBH Rp192,28 triliun
- Pilkada langsung Indonesia (sejak 2005) adalah keunggulan kompetitif dibanding Rusia dan China yang pemimpin lokalnya ditunjuk
Pertanyaan Buat Lo: Menurut lo, Indonesia harus lebih ke model mana? Federal seperti Rusia dengan otonomi kuat tapi resiko fragmentasi? Atau kesatuan seperti China dengan koordinasi ketat tapi kurang demokratis? Atau tetap di jalan tengah seperti sekarang tapi dengan perbaikan?
Drop pemikiran lo di kolom komentar—diskusi yang fact-based tentang tata negara itu penting untuk masa depan demokrasi Indonesia! 🇮🇩